masukkan script iklan disini
Jakarta - Hutan adalah suatu yang harus dijaga dan dilindungi, sebab hutan merupakan ekosistim alam yang merupakan paru-paru dunia. Luasnya hutan Indonesia pada saat ini jika melihat pada data Badan Statistik tahun 2019 terlihat pada tabel tersebut. Hutan Lindung Seluas ± 29, 576 Juta ha hutan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Seluas ± 27.410 Juta ha Hutan Produksi Terbatas Seluas ± 26.772 Hutan Produksi Tetap Seluas ±29.216 sedangkan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi Seluas ± 12.841 dan total luas hutan yang tercatat pada Badab Statistik pada tahun 2019 Seluas ± 125.817 dan Provinsi yang terluas kawasanhutannya yaitu Kalimantan timur dengan luas ± 13.832.
Nah, sedangkan dilapangan terlihat terus menerus terjadi perambahan dan alih fungsi Kawasan hutan dengan berbagai macam kegiatan dan saat ini menurut informasi yang dikutip oleh media. Terjadinya alih fungsi lahan sebagian besar untuk perkebunan sawit.
Kasar mata dapat melihat sebagian besar perobahan kawasan hutan dijadikan perkebunan ini dilakukan oleh pihak-pihak perusahaan baik swasta maupun BUMN. Aneh bukan sekelas Perusahaan Negara saja merambah hutan, dan ini kelihatannya seperti jeruk makan jeruk.
Darwin Marpaung, Direktur Investigasi & Litbang Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Konservasi Lingkungan Hidup (DPN LKLH) mengatakan, terjadinya perambahan dan alih fungsi Kawasan hutan menjadi berbagai kegiatan usaha didalamnya. hal itu disebabkan oleh para pejabat yang dipercaya untuk menjaga dan mengawasinya tidak konsisten terhadap tugasnya. tak hanya itu selain pembiaran para pejabat juga ikut aktiv melakukan persekongkolan dalam nengalih fungsikan kawasan hutan.
Kenapa kita bilang demikian sebab telah kita temui para pemilik lahan yang berada didalam yang masih berstatus Kawasan hutan kebanyakan rata-rata mereka telah mengantongi surat dari pejabat setempat.
Jika ditanya kenapa sdra menguasai mengusahai pada Lokasi lahan hutan, kebanyakan pemilik menjawab, ‘’kami tidak membeli hutan dan kami membeli dari Masyarakat dan lahan ini sudah tidak hutan lagi’’. Kata mereka. Iya memang betul. Berkaca dari berbagai tempat telah ditemukan perambahan hutan setelah dirambah pejabat tersebut menandatangani surat peralihan hak atas pengelolaan tanah atau sejenisnya.
Berangkat dari itu jika aman-aman saja pejabat tersebut pun membuat surat keterangan atas tanahnya. Melihat yang seperti ini terus menerus hingga sampai saat ini tentunya hal ini sangat menggiurkan oleh berbagai pihak. Dan menurut kami hal ini tidak bisa dibiarkan sebab jelas tidak sesuai dengan peraturan dan perundang undangan. Terkait hal ini harus ada aturan yang mengatur turunan dari berbagai aturan diatas tentang kehutanan konservasi dan lingkungan.
Untuk itu mari kita memperhatikan yang dimaksud pada pasal 105 huruf e dan huruf f, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana telah diu bah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, bahwa setiap pejabat yang ikut serta atau membantu dan atau melakukan pemufakatan terjadinya kegiatan pembalakan liar.
‘’Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling sing kat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar), maka apabila SPH atau dokumen seniesnya digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan pembukaan kawasan, Pejabat penerbit SPH atau dokumen sejenisnya potensi untuk diduga ikut serta atau membantu danlatau melakukan pemufakatan terjadinya penggunaan Kawasan hutan secara tidak sah’’.
Mencermati uraian aturan hukum diatas maka kami wajar memohon dan meminta kepada Gubernur Se-indonesia yang memiliki lokasi kawasan hutan. membuat surat edaran kepada para pejabat bupati/walikota yang diteruskan kepada para camat dan kepala desa lurah atau kepenghuluan agar tidak membuat atau menerbitkan surat pengalihan atau pengelolaan atau sejenisnya pada lahan yang berada didalam Kawasan hutan tanpa persetujuan dari Kementerian kehutanan.
Sebab tak jarang kita lihat para kepala desa camat bahkan bupati selalu terseret oleh aparat penegak hukum disebabkan menerbitkan surat didalam lokasi kawasan hutan tanpa persetujuan dari Kementerian kehutanan. Untuk itu dan untuk menghindari agar para kades dan camat supaya tidak menjadi bulan-bulanan oleh penegak hukum kami harapkan kepada para gubernur membuat surat himbauan atau sejenisnya kepada para kades, camat bupati dan walikota agar tidak menerbitkan suart-surat yang tidak sah menurut hukum pada lokasi kawasan hutan. Dan hal ini sepengetahuan kami telah dilakukan oleh Gubernur Sumatera Selatan dan kami sangat mengapresiasi Gubernur tersebut. Ucap Darwin.(Tim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar