masukkan script iklan disini
Sumut - Banjir bandang dan longsor besar melanda provinsi-provinsi di Sumatra — terutama Aceh, Sumatra Utara (termasuk Tapanuli Raya, Nias), dan Sumatra Barat — dengan korban jiwa sangat besar.
Banyak pihak, termasuk warga terdampak, masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan pemuka agama, menilai krisis ini bukan hanya akibat cuaca ekstrem tetapi juga akibat **kerusakan ekologis**, terkait deforestasi, alih fungsi lahan, dan aktivitas industri ekstraktif di hulu DAS (daerah aliran sungai).
TPL, perusahaan pulp/kertas dengan konsesi luas di wilayah Sumatra Utara dan Danau Toba, disebut dalam sorotan publik sebagai salah satu aktor yang perlu dievaluasi — bahkan ditutup operasionalnya — karena dianggap memperparah kerusakan lingkungan.
Pemerintah daerah — melalui Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara — menyatakan siap menerbitkan rekomendasi ke pemerintah pusat untuk menghentikan operasi TPL.
Namun TPL membantah keras tudingan tersebut. Perusahaan menyatakan telah menaati regulasi lingkungan, melalui audit terbaru oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta menjalankan prinsip tata kelola yang baik (ESG).
Hingga kini belum ada keputusan final: rekomendasi resmi penutupan masih dalam tahap penyusunan, dan TPL masih meminta dialog serta klarifikasi.
🌊 Situasi Bencana di Sumatra: Data & Dampak
Menurut data resmi per 1 Desember 2025, banjir dan longsor di Sumatra telah menewaskan **setidaknya 604 orang**, dengan ratusan lainnya hilang atau belum ditemukan.
* Pemerintah dan tim penyelamat melaporkan bahwa wilayah paling parah terdampak mencakup Aceh, Sumatra Utara (termasuk Tapanuli, Nias), dan Sumatra Barat. Infrastruktur — jalan, jembatan, rumah — banyak yang rusak, puluhan ribu warga mengungsi, dan akses logistik serta listrik sangat terganggu.
* Banyak bukti visual (puing, kayu besar yang hanyut, erosi lereng, longsor besar) menunjukkan bahwa dampak bencana diperparah oleh **kerusakan ekosistem** — bukan hanya hujan ekstrem. Lingkungan yang seharusnya menahan air dan menjaga stabilitas tanah diduga kehilangan kapasitasnya.
Karena itu, sejumlah tokoh lokal dan aktivis lingkungan menyebut peristiwa ini sebagai **bencana ekologis** — hasil dari kombinasi perubahan iklim + eksploitasi alam tanpa tata kelola yang bijak.
---
🏭 TPL di Bawah Tekanan: Tudingan, Tuntutan, dan Respons
🔹 Tuntutan Penutupan dari Masyarakat & Pemerintah Daerah
* Setelah demonstrasi besar masyarakat sipil dan adat pada 10 November 2025, sejumlah organisasi yang tergabung dalam gerakan “Tutup TPL” menagih janji Gubernur Sumut untuk menindaklanjuti tuntutan.
* Pada 24 November 2025, Gubernur Bobby bersama perwakilan masyarakat adat, tokoh agama, dan organisasi lingkungan melakukan rapat dan memutuskan akan menyusun rekomendasi penutupan operasional perusahaan.
* Dalam rapat itu, Gubernur menyatakan bahwa rekomendasi akan dikirim ke pemerintah pusat — karena izin perusahaan berada di ranah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat merekomendasikan, bukan langsung menutup izin.
* Namun, sampai saat ini masyarakat dan Sekber (Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis) masih menagih kejelasan jadwal audiensi dan kepastian tindakan.
🔹 Pembelaan TPL: Klaim Kepatuhan dan Transparansi
* TPL membantah tuduhan bahwa operasionalnya menyebabkan banjir dan longsor. Perusahaan menyatakan seluruh kegiatan HTI telah mendapat penilaian konservasi independen (HCV & HCS), dan dikelola sesuai regulasi.
* Dari konsesi 167.912 hektare, perusahaan menyebut hanya sekitar 46.000 hektare yang ditanami eucalyptus; sisanya diklaim sebagai kawasan konservasi / lindung.
* Menurut hasil audit KLHK 2022–2023, TPL dinyatakan “taat” terhadap lingkungan dan sosial. Tidak ditemukan pelanggaran selama audit berlangsung.
* TPL telah meminta audiensi resmi dengan Gubernur — guna menjelaskan posisi dan menyerahkan data serta dokumen lingkungan sebagai upaya klarifikasi.
* Hingga kini belum ada salinan resmi rekomendasi penutupan diterima perusahaan. Perseroan menyatakan bahwa operasional, produksi, dan arus kas mereka belum terganggu, meskipun situasi politik dan sosial sangat sensitif.
⚠️ Dilema Regulasi: Kewenangan Daerah vs Pusat, Izin HTI & Masalah Tata Ruang
Kasus ini menunjukkan kompleksitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia, terutama ketika:
* Izin konsesi HTI / pemanfaatan hutan dikeluarkan oleh pemerintah pusat — sehingga keputusan penutupan memerlukan persetujuan dari pusat, bukan semata keputusan daerah.
* Penilaian atas dampak ekologis dan sosial memerlukan data ilmiah, audit independen, serta partisipasi aktif masyarakat — bukan hanya desakan politik atau opini publik.
* Konflik agraria dan hak masyarakat adat menjadi bagian penting dari evaluasi — perlu dihormati hak atas tanah, air, dan lingkungan; dan keterlibatan mereka dalam perencanaan tata guna lahan.
Dengan demikian, tuntutan penutupan TPL bukan sekadar masalah ekonomi dan izin perusahaan — tetapi menyentuh ranah **keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan tata kelola pemerintahan**.
---
🎯 Rekomendasi dari Publik & Pemangku Kepentingan
Berdasarkan situasi saat ini, rilis ini mendesak:
1. Audit lingkungan independen & transparan terhadap seluruh konsesi HTI, perkebunan, dan industri ekstraktif di kawasan rawan bencana — khususnya di DAS, daerah hulu sungai, dan wilayah pegunungan.
2. Peninjauan ulang izin operasional jika ditemukan bahwa aktivitas perusahaan memperburuk kerusakan lingkungan, mengurangi tutupan hutan, atau merusak fungsi ekologis.
3. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat— termasuk hak atas tanah, air, dan lingkungan — dalam proses evaluasi izin dan keputusan tata ruang.
4. Keterbukaan informasi publik: dokumen izin, peta kawasan, audit lingkungan, dan pemantauan lingkungan harus dapat diakses masyarakat — agar terjadi pengawasan bersama.
5. Partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan tata guna lahan, konservasi, dan mitigasi bencana — agar pembangunan tidak mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
6. Penegakan hukum & kebijakan lingkungan yang ketat— sebagai bagian dari komitmen pemerintah terhadap keberlanjutan dan keselamatan warga.
💬 Pernyataan Pihak Terkait (Ringkasan)
“Kami menolak tuduhan bahwa operasional kami menyebabkan banjir bandang — seluruh kegiatan sudah sesuai regulasi, diaudit, dan dikelola secara bertanggung jawab.”
— Perwakilan manajemen TPL
“Keputusan rekomendasi penutupan ini tidak sepihak — melibatkan berbagai pemangku kepentingan; bagaimana nasib 11.000 tenaga kerja dan masyarakat sekitar juga jadi pertimbangan.”
— Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution
“Penutupan TPL adalah langkah penting untuk menjaga kelestarian alam, hak masyarakat adat, dan mencegah bencana ekologis berulang — ini bukan hanya soal ekonomi, tapi keadilan dan keberlanjutan.”
— Perwakilan Sekber dan masyarakat adat yang mendesak penutupan TPL .
Banjir besar dan longsor di Sumatra akhir 2025 menunjukkan bahwa krisis ekologis bisa melahirkan tragedi kemanusiaan — tak saja korban jiwa dan materi, tetapi juga kerusakan lingkungan dan trauma sosial jangka panjang.
Kasus TPL / INRU kini menjadi simbol konflik antara keuntungan jangka pendek dan keberlanjutan ekologis & sosial jangka panjang. Apakah Indonesia memilih melindungi hutan, masyarakat adat, dan ekosistem; atau tetap memberi ruang bagi eksploitasi industri besar dengan resiko bencana berulang?
Rilis ini mengajak semua pihak — pemerintah pusat & daerah, masyarakat adat, akademisi, aktivis lingkungan, sektor swasta — untuk bersama mengevaluasi ulang paradigma kehutanan, perizinan, dan tata ruang. Supaya hak atas lingkungan, keselamatan manusia, dan keberlanjutan alam dapat dijunjung tinggi.
( Magdalena)









Tidak ada komentar:
Posting Komentar